PENGERTIAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Terminologi
Politik Secara Umum
Guna melengkapi dan memudahkan
pemahaman pembaca, sebelum memasuki pembahasan tentang pengertian poltik dalam
perspektif Islam, terlebih dahulu akan disuguhkan pengertian politik dalam
terminologi yang berkembang saat ini. Secara umum telah banyak sekali
pengertian tentang politik yang diberikan para sarjana politik. Diantara
pengertian-pengertian politik tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Menurut Asad (1954), politik adalah menghimpun kekuatan; meningkatkan kualitas
dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan
kekuatan, untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya.
2.
Dalam pandangan Abdulgani, perjuangan politik bukan selalu “de kunst het
mogelijke” tapi seringkali malahan "de kunst van onmogelijke"
(Politik adalah seni tentang yang mungkin dan tidak mungkin). Sering pula
politik diartikan "machtsvorming en machtsaanwending" (Politik
adalah pembentukan dan penggunaan kekuatan).
3.
Bluntschli (1935) memandang politik sebagai "Politik is
more an art a science and to do with the practical conduct or guidance of the
state" (Politik lebih merupakan seni daripada ilmu tentang pelaksanaan
tindakan dan pimpinan (praktis negara)).
4.
Isjwara (1967) mencatat beberapa arti tentang politik dari sejumlah ahli.
Diantaranya adalah :
-Loewenstein yang berpendapat "Politik
is nicht anderes als der kamps um die Macht" (politik tidak lain
merupakan perjuangan kekuasaan);
-Suys yang mengartikan politik
sebagai "Strijd om macht" (jalan ke kekuasaan);
-Roucek yang mendefinisikan politik
sebagai berikut, "for central problem of politics is that of the
distribution and control of power. Politics is the quest for power and
political relationships are power relationships, actual or potential"
(problema sentral dari politik adalah distribusi kekuasaan dan kontrol
kekuasaan. Politik adalah mencari kekuasaan, sedangkan hubungan politik
adalah hubungan kekuasaan, aktual atau potensial).
-Lasswell yang menyatakan bahwa
"when we speak of the science of politics, we mean the science of power”
(Apabila kita berbicara tentang ilmu politik, maksudnya ialah ilmu tentang
kekuasaan). Pada lain kesempatan Lasswell juga mengartikan ilmu
politik sebagai "the study of influence and influential...The
influential are those who get most of what there is to get" (studi
tentang pengaruh dan yang berpengaruh...adapun yang berpengaruh itu ialah
mereka yang memperoleh sebanyak-banyaknya yang dapat diperoleh. Yang
dapat diperoleh adalah deference, income, safety
(kehormatan, penghasilan, keselamatan).
-Catlin yang mendefiniskan ilmu
politik sebagai “a study of control or as the act of human or social
control" (Studi tentang kontrol, yaitu tindakan kontrol manusia dan
kontrol masyarakat).
-Isjwara sendiri menyimpulkannya
sebagai berikut. Politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan; teknik
menjalankan kekuasaan; masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan;
atau pembentukan kekuasaan.
Disamping itu, banyak pula sarjana
politik yang mendefinisikan politik sebagai bagian penting dan tak terpisahkan
dari cakupan terminologi negara. Berikut diantaranya.
1.
Al-Farabi sebagaimana dikutip Ahmad (1954) menyatakan negara adalah satu
tubuh yang hidup, sebagai halnya tubuh manusia; tubuh manusia yang menyusun
satu kesatuan.
2.
Maciver mengupas negara dalam tiga makna yaitu: (1) the state as an
association (negara sebagai persekutuan); (2) the state in term of
sovereignty (negara dalam istilah soverenitas); (3) the state in term of
law (negara dalam istilah hukum).
3.
Smith dan Zwicher sebagaimana dikutip Jacobsen dan Lipman (1960)
menyatakan bahwa "Formally, the modern state has been defined as a
politically organized body of people occupying a definite territory and living
under a goverment antirely or almost free from external control and competent
to secure habitual obidience from all person with it" (Secara
formalnya, negara modern diartikan sebagai lembaga politik yang terorganisasi
daripada orang-orang/rakyat, atau yang mempunyai daerah teritorial tertentu
serta hidup di bawah pemerintahan yang seluruhnya atau hampir seluruhnya
merdeka/bebas dari kontrol luar dan sanggup memelihara kataatan dari semua
orang di dalamnya).
4.
Lenin menjelaskan bahwa "The state is machine for maintaining the rule
of one class over another" (Negara adalah mesin untuk mempertahankan
kekuasaan satu kelas atas kelas yang lain).
5.
Menurut Laski (1950), "The state, it is urgend, is, in fact, the
supreme, coercive power in any given political society; but it is in fact, used
to protect and promote in the society the interest of those who own its
instruments of production" (Nyatanya negara itu adalah kekuasaan
tertinggi yang memaksa dalam masyarakat poltik; tapi dalam kenyataannya pula
negara itu dipergunakan untuk menjaga dan memelihara interest mereka yang
memiliki alat produksi dalam masyarakat). Pada kesempatan yang lain Laski
juga menyatakan: "The State is for porposes of practical
administration, the goverment" (Bagi tujuan adminstrasi praktis,
negara adalah pemerintahan).
6.
Diponolo (1951), mencatat beberapa arti tentang negara dari sejumlah ahli :
- Plato menyatakan negara
adalah manusia dalam ukuran besar.
- Jean Bodin berpendapat
negara adalah jumlah keluarga dengan sejumlah harta bendanya yang dipimpin oleh
akal dari satu kuasa yang berdaulat.
- Hans Kelsen mengatakan
negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama, suatu tata-paksa (zwangordenung).
- Bluntschli mendefinisikan
negara sebagai diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu
daerah tertentu.
- Valkenier berpendapat negara
ialah rakyat sebagai kekuasaan yang merdeka, hidup dalam persatuan hukum yang
berlaku lama di suatu daerah yang tertentu.
- Diponolo sendiri berpendapat
negara adalah suatu organisasi kekuasaan dengan susunan tata-tertib suatu
pemerintahan yang meliputi pergaulan hidup suatu bangsa di suatu daerah
tertentu.
7.
Djokosoetono (1957) memberikan definisi bahwa negara dapat pula diartikan
sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di
bawah suatu pemerintahan yang sama. Pemerintahan ini sebagai alat untuk
bertindak demi kepentingan rakyat utnuk mencapai tujuan organisasi negara,
antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tatatertib, keadilan,
kesehatan dan seterusnya. Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya
pemerintahan mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi kepada alat-alat
kekuasaan negara, agar setiap sektor tujuan negara dapat bersamaan dikerjakan.
Lalu bagaimana kaitannya antara
negara dengan agama? Hal ini juga telah banyak disoroti oleh sejumlah ahli.
Diantaranya:
1.
Soekarno menulis tentang "Apa sebab Turki memisah Agama dari Negara",
dalam Panji Islam, edisi nomor 20-26 (Mei-Juli 1940). Tulisan ini
dimuat dalam bukunya, “Di Bawah Bendera Revolusi”.
2.
Moechlis (M. Natsir) menulis "Persatoean Agama dengan Negara"
dalam Panji Islam, edisi nomor 27-37 (Juli-September 1940).
3.
Mohammad Natsir menyampaikan pidato “Islam dan Sekulerisme” dalam sidang
pleno Konstituante 12 November 1957.
4.
Deliar Noer (1965) dalam buku “Pengantar ke Pemikiran Politik” ,
mengupas antara lain polemik antara SOEKARNO dan NATSIR termasuk di atas.
Sekalipun terdapat perbedaan
definisi politik tetapi tampak jelas adanya benang merah dalam pemaknaannya,
yakni politik sebagai hal ihwal pengaturan urusan masyarakat oleh kekuasaan
negara maupun oleh masyarakat sendiri itu sendiri. Bila demikian halnya,
lalu bagaimana dengan pemaknaan politik dalam perspektif Islam, dien yang
sempurna lagi paripurna? Jawabannya dapat disimak dalam uraian selanjutnya.
Politik
Dalam Perspektif Islam
Politik di dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para
ulama salafus shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, siyasah berakar
kata sâsa-yasûsu. Dalam kalimat sâsa addawabba yasûsuha siyâsatan
berarti qâma’alaihâ wa râdlahâ wa addabahâ (mengurusinya, melatihnya,
dan mendidiknya). Bila dikatakan sâsa al amra artinya dabbarahu
(mengurusi/mengatur perkara). Begitu juga bila dikatakan : sistu ar ra’yyata
siyâsatan artinya adalah amartuhâ wa nahaituhâ, yakni ra’aitu
syu-unihâ bil awâmiri wan nawâhi. Dalam bahasa Indonesianya berarti saya
mengurusi gembalaan, saya memerintah dan melarang gembalaan, yakni saya
mengurusi urusan-urusannya dengan perintah dan larangan (Lihat kamus Al Muhith
(Arab ke Arab) dan Al Munawwir (Arab ke Indonesia) tentang sâsa).
Jadi, asal makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan
dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan
urusan-urusan manusia dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut
dinamai politisi (siyâsiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan
bahwa ulul amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi
urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan
orang Arab dikatakan: ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah)
bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi
rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan
kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah),
perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad),
dan pengadaban (ta`dib). Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata
politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi
urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi
wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku,
namun akan ada banyak khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah
itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam
politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir
dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam
rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati
pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi
kekufuran yang nyata (kufran bawâhan) seperti ditegaskan dalam banyak
hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah
SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang bangun pagi
dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja
yang bangun pagi namun tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia
bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
Pada kesempatan lain, Rasulullah
ditanya tentang jihad apa yang paling utama, Beliau mejawab: “Kalimat haq
yang disampaikan pada penguasa durhaka.” (HR. Ahmad).
Sayangnya, realitas politik demikian
menjadi pudar saat ini, yakni saat dimana kebiasaan umum masyarakat dewasa ini
baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang
dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non
muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan
kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun
penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman
mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi
masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan
seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang
shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa
politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham
akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam
politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya.
Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum
muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal
propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Lihat Az
Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33).
Bak pisau bermata dua, propaganda
tadi benar-benar bermaksud ganda: mencampuradukkan pemahaman yang benar dan bathil
(salah). Benar, dikarenakan seorang muslim mutlak harus menjadi muslim
yang melaksanakan Islam secara sempurna dan menyeluruh, jauh dari segala
perkara yang bertentangan dengan hukum-hukumnya baik di dalam urusan pribadinya
maupun dalam interaksi-interaksi umum dengan sesama manusia. Setiap
muslim sungguh tidak diperbolehkan Islam untuk melakukan kedustaan, kezhaliman,
pengkhianatan, menipudaya rakyat serta menyerukan aqidah dan syariat selain
Islam seperti yang dilakukan oleh kalangan sekularis. Tetapi juga bathil,
dikarenakan propaganda tersebut melarang muslim yang terikat dengan hukum syara
dan paham akan agamanya mengambil peran dalam memperbaiki masyarakat dengan
dasar hukum-hukum Islam. Padahal, seperti disebut dalam hadits-hadits
terdahulu, hal ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Begitu pula
propanda itu digunakan untuk menutup-nutupi kesesatan dan penyesatan mereka
dari mata masyarakat umum.
Karenanya, kewajiban orang yang
sekarang masih saja menyerukan penjauhan Islam dari persoalan politik dengan bersandar
pada argumentasi tadi semestinya adalah menyerukan — bila mereka benar-benar
jujur— pelurusan penyelewengan dalam persoalan dan makna politik serta
memperbaiki kebengkokan yang ditempuh para politisi dewasa ini. Selain
itu, harus pula politik dikembalikan pada aturan-aturan Islam hingga politik
kembali kepada maknanya yang mulia, yakni mengatur, memperbaiki, mengurusi, dan
memberi petunjuk. Dengan demikian, muslim yang berkecimpung dalam
duniaperpolitikan berarti muslim yang harus mengatur, memperbaiki dan mengurusi
urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, dan memberi petunjuk Islam kepada
masyarakat.
Dalam pernyataan lain, politiknya
seorang muslim adalah menerapkan dan menegakkan ajaran Islam dalam segala
aspeknya. Bila tidak demikian dan tetap menjauhkan Islam dari politik
berarti pertama, mereka telah menyimpang dari perintah Allah SWT untuk
mengurusi dan memperhatikan urusan kaum muslimin; kedua, melegalisasi
bahwa politik itu seperti apa yang digambarkan ideologi kapitalisme dan
sosialisme padahal politik demikian adalah politik yang bertentangan dengan
politik Islam seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW; ketiga,
melarang sesuatu yang merupakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Jadi,
semestinya sikap yang diambil bukannya mengasingkan Islam dari politik atau
politik tidak diatur oleh ajaran Islam melainkan justru menggunakan Islam untuk
mengatur dan memelihara urusan masyarakat, Islamlah satu-satunya sumber politik
bagi seorang muslim seperti diteladankan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
Singkatnya, politik atas dasar ajaran Islam adalah mengimplementasikan seluruh
hukum-hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Politik dalam perpektif Islam ini
kemudian diimplementasikan dalam bahasan politik dalam negeri dan politik luar
negeri.
Politik
Dalam Negeri Daulah Islam
Dalam konteks dalam negeri, politik negara (daulah) Islam diwujudkan melalui
pemberlakuan hukum-hukum Islam. Negara juga memberlakukan aturan-aturan
Islam di berbagai wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya. Negara
mengatur muamalat, menegakkan hudûd, ‘uqûbât, memelihara
akhlak, menjamin tegaknya syiar-syiar ibadah, dan mengatur urusan rakyat sesuai
dengan syariat Islam. Islam telah menjelaskan tatacara (tharîqah)
untuk memberlakukan hukum Islam bagi rakyat yang tunduk pada kekuasaan Islam dan
menyakini Islam maupun rakyat yang tidak menyakini Islam. Daulah Islam
menegakkan hukum-hukum Islam sesuai dengan tatacara tersebut. Tatacara (tharîqah)
pelaksanaan hukum Islam oleh Daulah Islam, sebagaimana halnya dengan berbagai
pemecahan atas berbagai problem kehidupan manusia, adalah bagian dari syariat
Islam.
Ulama ushul fikih menyatakan bahwa
yang diseru oleh hukum Islam adalah semua orang yang berakal yang memahami khithâb
(perintah),baik Muslim maupun non-Muslim. Imam al-Ghazali menyatakan pendapatnya
di dalam kitab Al-Mustashfâ fî Ushûl,“Mahkûm
‘alayh (orang yang dikenai beban hukum) adalah mukallaf. Syaratnya,
ia harus berakal dan memahami khithâb. Bagi ahludz-dzimmah,
kelayakan penetapan hukumnya didasarkan pada sifat kemanusiaannya, yakni mampu
menggunakan kekuatan akalnya untuk memahami taklif hukum.”
Oleh karena itu, mukhâthab
(yang diseru) dalam Islam adalah seluruh manusia, baik berhubungan dengan khithâb
dakwah maupun taklif. Khithâb dakwah adalah seruan yang berisi
ajakan kepada seluruh manusia untuk menyakini Islam, sedangkan khithâb
taklifadalah seruan berupa perintah kepada seluruh manusia agar beramal
sesuai dengan hukum Islam.
Islam memandang masyarakat— yang di
dalamnya diterapkan berbagai aturan — sebagai entitas manusia, tanpa dilihat
kelompok dan jenisnya. Di dalam masyarakat Islam tidak terdapat syarat
apa pun, kecuali kewajiban untuk tunduk kepada negara dan sistemnya.
Dalam negara Islam, tidak terdapat istilah kelompok minoritas, karena seluruh
masyarakat dipandang sebagai manusia yang menjadi rakyat selama mereka
melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Oleh karena itu, politik dalam
negeri Daulah Islam adalah secara praktis berwujud penerapan syariat Islam atas
seluruh individu masyarakat, Muslim maupun non-Muslim.
Politik
Luar Negeri Daulah Islam
Sementara itu, dalam konteks luar negeri, politik negara (daulah) Islam
dimanifestasikan melalui upaya menjalin hubungan berbagai negara, bangsa, dan
umat-umat lain. Hubungan luar negeri ini merupakan wujud pengaturan
urusan rakyat secara eksternal. Politik luar negeri negara Islam dibangun
di atas sebuah pemikiran yang konstan, tidak berubah, yakni: penyebaran Islam
kepada seluruh umat dan bangsa di dunia. Inilah asas yang membangun
politik luar negeri negara Islam. Asas ini tidak akan berubah selamanya
meskipun aparat yang menjalankan pemerintahan berbeda-beda. Asas ini ada
dan langgeng sejak masa Rasulullah saw. hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyah
sebagai Daulah Islam yang terakhir. Asas ini tetap dan tidak berubah
secara mutlak.
Sejak berada di Madinah, Rasulullah
saw. mulai membangun hubungan negara Islam dengan negara lain berdasarkan asas
penyebaran Islam ini. Beliau membuat perjanjian dengan Yahudi untuk
memfokuskan penyebaran dakwah di Hijaz. Beliau menandatangani
perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy untuk memperkuat penyebaran dakwah di
jazirah Arab. Beliau juga mengirim surat ke berbagai negara yang berada
di luar jazirah Arab untuk membangun hubungan dengan mereka berdasarkan asas nasyr
al-Islâm (penyebaran Islam)dengan menyeru mereka agar masuk Islam.
Setelah beliau, mucul para khalifah Rasul. Mereka pun membangun hubungan
luar negeri dengan seluruh negara yang ada berdasarkan asas penyebaran Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Eksistensi negara tidak lain adalah
untuk menegakkan Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam di luar
negeri. Artinya, urgensitas negara bagi kepentingan luar negeri adalah
mengemban dakwah Islam. Penyebaran Islam sebagai asas bagi politik luar
negeri ini didasarkan pada alasan bahwa Rasulullah Muhammad saw. diutus untuk
seluruh manusia. Allah Swt. berfirman:
“Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad)
kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan bagi seluruh umat
manusia.”
(QS. Saba : 28)
Rasulullah saw bertugas menyampaikan
risalah kepada seluruh manusia. Setelah beliau wafat, risalahnya
terus disebarkan kepada seluruh manusia oleh para khalifahnya dan kaum
Muslim. Mengemban dakwah Islam ke penjuru alam merupakan kelanjutan dari
perbuatan Rasul. Oleh karena itu, mengemban dakwah Islam adalah asas bagi
hubungan Daulah Islam dengan berbagai negara, bangsa, dan umat lain.
Realitas semacam ini merupakan ketetapan syariat Islam yang memang telah
ditegaskan di dalam al-Quran, Sunnah, dan Ijma Sahabat. Walhasil, asas
politik luar negeri negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru alam.
Politik luar negeri tersebut ditempuh dengan suatu metode yang tetap dan tidak
pernah berubah. Metode itu adalah jihad. Metode ini tidak pernah
berubah meskipun orang yang menjabat pemerintahan telah berganti-ganti.
Metode ini tetap langgeng pada setiap masa, sejak masa Rasulullah saw. hingga
berakhirnya Daulah Islam. Metode seperti ini, secara mutlak, tidak pernah
mengalami perubahan. Sejak menegakkan Daulah Islam di Madinah, Rasulullah
saw. segera menyiapkan pasukan dan mulai berjihad untuk menghancurkan
barikade-barikade fisik yang menghalangi laju dakwah. Quraisy adalah
barikade fisik yang menghalangi laju dakwah Islam. Rasulullah saw.
berkeinginan menghancurkan barikade ini. Akhirnya, beliau berhasil
menghancurkan Quraisy sebagai kekuatan yang menghadang laju dakwah Islam,
sebagaimana beliau berhasil menghancurkan kekuatan-kekuatan lain yang
menghalangi dakwah Islam, sampai Islam tersebar ke seluruh jazirah Arab.
Daulah Islam mulai mengetuk pintu-pintu umat lain untuk menyebarkan Islam
kepada mereka. Akan tetapi, muncul kemudian kekuatan-kekuatan yang
berwujud pemerintahan yang berdiri di atas umat-umat tersebut sebagai
penghalang fisik yang berusaha menghentikan dakwah Islam. Oleh karena
itu, kekuatan-kekuatan tersebut harus dihilangkan dari muka dakwah agar dakwah
Islam dapat mencapai umat itu sendiri dan agar mereka tunduk di bawah kekuasaan
Islam. Dengan begitu, mereka dapat melihat dan merasakan keadilan,
kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di bawah bendera Islam, sehingga pada
gilirannya, mereka ikut serta menyebarkan Islam dengan cara yang paling baik,
yakni tanpa pemaksaan dan intimidasi.
Dengan
demikian, jihad untuk menyebarkan Islam serta menaklukan berbagai negara dan
wilayah tertentu akan terus berlangsung. Dengan jihad, akan lenyaplah
seluruh kerajaan dan negara lain. Negara Islamlah yang akan mengatur
seluruh bangsa dan umat untuk kemudian menyebarkan Islam. Dengan begitu,
ratusan juta manusia akan menyakini Islam setelah terlebih dahulu dikuasai oleh
Islam. Walhasil, metode yang menyertai politik luar negeri negara Islam
adalah jihad yang bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah.